Selasa, 22 Maret 2016

cerpen - Diary Hijau

huuaa sudah lama sekali sejak aku menulis.. ini cerpen yang aku buat pas gak bisa tidur. sebenernya cerpen yang aku buat bukan ini, jadi ini cuma selingan aja. eh ternyata yang duluan selesai malah ini. jadi aku upload yang ini dulu hehe.. selamat menikmati

Diary Hijau

Untuk yang kesekian kalinya aku menulis di buku hijau itu. Aku menulis seolah aku berbicara denganmu. Aku bercerita tentang semua yang menyenangkan. Saat aku bermimpi pergi kepantai. Bermimpi berenang disana dan membuat istana pasir. Atau saat aku bermimpi mendaki gunung bersamamu. Kita mendirikan tenda dan tidur bersama dalam dinginnya udara pegunungan. Aku bermimpi melihat matahari terbenam bersama. Tak lupa aku juga menulis tentang mimpi kita bersama. Mimpi kita akan bertemu. Mimpi kita akan membaca buku di ruangan bersama. Mimpi melihatmu bekerja di depan komputer sedangkan aku tertidur sambil memandangimu. Mimpi yang indah bukan?
                Aku juga menulis tentang kemarahanku di buku hijau lusuh itu. Tentang dunia yang tak adil. Tentang takdir yang memisahkan kita. Tentang jarak yang sampai kapanpun tak bisa aku lompati. Tentang apapun yang membuatku marah. Aku juga menulis saat kau benar-benar lupa hari ulang tahunku. Aku sungguh marah saat itu. Atau kau yang tak menepati janjimu. Kau ingat tentang janji bahwa kita akan selalu bersama? Janji ketika kau akan selalu bersamaku. Janji akan selalu menjaga.
                Aku menulis kekecewaanku di buku hijau jelek itu. Kecewa akan segala hal. Kecewa karna ternyata semua tak seindah yang aku impikan. Kecewa karna ternyata kau tak bisa selalu bersamaku. Kecewa karna kau berubah begitu cepat. Kecewa karna kau menghancurkan semua mimpi yang kita bangun bersama. Kecewa karna semua janjimu itu bohong. Kau si pembohong. Kau si ingkar janji. Aku benar-benar kecewa.
                Aku menghabiskan waktu untuk menulis penantianku di buku hijau ini. Apa yang kunanti? Tentu saja kau. Aku terus menanti ketika kau menghilang begitu saja. Aku terus menunggu siapa tahu kau kembali membawa kembali mimpi-mimpi ku. Siapa tahu kau kembali menemaniku seperti hari-hari sebelumnya. Aku terus menanti dan menanti tiada lelah. Itu yang kau inginkan bukan? Aku takut kala kau kembali dan butuh bantuanku, aku tidak ada disana. Maka dari itu aku tak bergerak dari tempatku. Dan aku akan selalu menunggumu kembali.
                Hingga akhirnya aku kembali menulis di buku hijau tua ini tentang pernikahanku. Hey apa kau lihat aku?! Aku begitu cantik dengan gaun putih berenda ini. Sepatu yang kukenakan sedikit kebesaran, namun itu tak menjadi masalah. Pernikahanku akan tetap sempurna. Hanya tinggal buket bunga mawar. Aku mencari nya kesana kemari, namun aku tetap tak menemukan buket bungaku.
“hey, aku datang membawakanmu bunga ini.” Kau akhirnya datang membawakanku sebuket bunga.
“kau ini! Aku sudah mencarinya sedari tadi.”
                Aku berlari kearahmu senang. Gaun panjang ini sedikit membuatku kesulitan, tapi tidak jadi masalah, aku akan tetap bisa menggapaimu. Ku lihat kaupun melangkah kearahku dengan senyum termanis yang pernah aku lihat. Dan kau… begitu saja melewatiku. Langkahku terhenti, aku menoleh kearahmu kesal. Kulihat kau menyimpan buket bunga itu di tempat yang paling aku benci. Tempat yang membuat kita tak pernah bisa bersatu. Kuburanku…
“maaf ya aku jarang datang kemari, hey kau tahu? Ini jenis mawar yang biasa di pakai saat pernikahan. Maafkan aku, aku selalu ingkar janji. Maafkan aku, aku tidak ada saat kau membutuhkanku dulu. Maafkan aku yang selalu meninggalkanmu dan membuatmu menunggu begitu lama. Maafkan aku, aku terlambat.” Kau menangis di depan kuburanku. Dan membaca ulang diary hijau milikku sekali lagi.
“bodoh! Aku yang minta maaf… maafkan aku. Ku mohon maafkan aku.” Aku jatuh terduduk dan menangis tuk kesekian kalinya. Bodoh!

Tamat

(Camelia Athena Kharin)

Jumat, 20 November 2015

cerpen thriller - crazy girl

ini adalah cerpen yang aku buat dua bulan yang lalu. ketika sifat yandereku keluar #plak. tadinya gak akan aku post tapi karna permintaan temenku, akhirnya aku post deh ehehhe.. WARNING!! cerpen ini mengandung unsur pembunuhan, jadi jika ada yang tidak suka disarankan untuk tidak membacanya.

Crazy Girl

Semua berawal sejak aku mengenal gadis gila itu. Dan aku jatuh cinta padanya. Ingat saat aku pertama kali bertemu dengannya, saat itu dia sedang melakukan percobaan bunuh diri dengan melompat dari atap sekolah. Beberapa saat setelah dia melompat, aku berhasil menangkap tangannya. Gadis itu menatapku bingung. Sedangkan aku berada di posisi hidup dan mati.
“kenapa kau menangkapku? Ayo lepaskan aku dan berpura-puralah ntidak terjadi apa-apa.” Katanya dengan senyum yang merekah di wajah cantiknya.
                Mana bisa aku begitu! Aku tetap tidak melepaskan tangan kurusnya. Beberapa orang yang melihat kami berteriak histeris sedangkan yang lainnya memanggil bantuan. Tapi aku berhasil menarik gadis itu ketempat yang lebih aman sebelum yang lain bertindak.
“aku tidak akan berterimakasih, karna yang kuinginkan adalah jatuh kesana.”
                Langkah ringannya berjalan meninggalkanku yang masih terpenjara dalam ketegangan. Aku tertawa garing. Entah apa yang aku tertawakan. Tapi aku sadar, saat itu aku telah jatuh cinta padanya. Aku menyukai wajah cantiknya. Senyum cerianya. Tatapan beraninya. Bahkan ketika dia menangis karna semua orang menjauhinya, aku tetap berada disisinya. Walau semakin lama tingkahnya semakin aneh. Aku tetap menemaninya.
“kenapa?” tanyanya kala aku berhasil menangkapkan kucing liar seperti yang dia minta. “kenapa kau selalu membantuku?”
“apapun yang terjadi, aku akan selalu membantumu.” Jawabku.
                Itulah bukti cintaku. Apapun yang orang lain katakan, aku tetap mencintainya. Walau kini gadis pujaanku itu tampak lusuh bak raga tak bernyawa. Dia tetap cantik dimataku. Gadis itu memeluk kucing liar yang sekarang jadi miliknya dan tersenyum padaku.
“apapun?”
                Aku mengangguk pelan sambil tersenyum dan mengusap ujung kepalanya. Dia melompat kegirangan. Berputar-putar sambil tetap memeluk kucingnya. Senyum lebarnya takkan pernah kulupakan. Senyum yang bagaikan melaikat, hanya ia persembahkan untukku. Aku bersyukur bertemu dengan gadis gila ini.
                Beberapa hari setelahnya gadis gila itu tidak menampakkan diri di sekolah. Tanpa keterangan! Tanpa kabar! Dengan susah payah aku mencari tahu alamat rumah gadis gilaku. Cukup sulit mengingat tak ada siapapun yang dekat dengannya kecuali aku. Hingga akhirnya aku menemukan alamat rumahnya di kumpulan data murid di ruang dokumentasi sekolah. Dengan cepat aku berlari menuju alamat tersebut. Memasuki sebuah komplek yang lebih sepi dari pada komplek perumaha pada umumnya.
                Ting tong. Aku berdiri cukup lama menunggu seseorang membukakan pintu rumah itu untukku. Setelah 30 menit menunggu, akhirnya seorang wanita paruh baya membukakan pintu rumahnya.
“kumohon tolong bantu dia.” Kata wanita itu yang aku tahu bahwa ia adalah ibu dari gadis pujaanku.
                Langkah kakiku berdenyit kala menyentuh lantai kayu rumah gadis yang akan segera aku temui. Wanita paruh baya itu membukakakn sebuah pintu untukku. Bau amis dari dalam ruangan itu segera menguasai indra penciumanku. Dalam gelap aku melihat sosok yang sudah tak asing lagi untukku. Gadis gila itu sedang duduk menangis berlumuran darah.  Aku segera masuk dan merangkul tubuh kecilnya. Ternyata darah itu bukan berasal dari gadisku. Darah itu berasal dari bangkai kucing yang telah tertusuk cutter. Dari lukanya, sepertinya kucing itu ditusuk berkali-kali oleh sang pelaku yang tidak lain adalah gadis gilaku. Gadis gila itu masih saja menangis dan memeluk bangkai kucingnya.
“dia menolak cintaku.” Katanya disela-sela tangis yang tak kunjung berhenti. “tolong bantu aku.”
                Aku mengangguk dan setuju untuk membantu gadis gilaku. Apapun itu! Kini aku telah berdiri di depan sebuah apartemen kecil. Sang penghuni membukakan pintunya sesaat setelah aku menekan bel. Aku memandang penuh emosi pada pria yang membuat gadis gilaku menangis. Namun apa yang kuterima? Pria itu tersenyum dan tanpa perintah dia langsung menutup pintu, jendela dan gorden. Membiarkan kami sama-sama saling menatap dalam gelap. Yang kuingat hanya kata-kata gadisku.
“kumohon bantu aku membunuhnya! Kalau kami tak bisa bersama, tak boleh ada yang memilikinya di dunia ini. Tidak boleh! Dia harus mati.”
                 Aku mengeluarkan sebilah pisau yang gadis gilaku berikan demi suksesnya rencana pembunuhan ini. Pria itu tampak tenang seolah tahu bahwa hal ini akan terjadi.  Aku menyodorkan pisau itu.
“aku tahu wanita itu pasti akan mengirimmu untuk melakukan ini.”  Aku menatapnya tak percaya. “ bunuhlah aku, dan katakan wanita itu bahwa aku mencintainya. Bukannya aku menolaknya. Tapi kini aku sedang sakit, kita tak mungkin bersatu.”
                Pria itu meraih tanganku yang sedang menggenggam erat pisau dan menyodorikan pisau itu kejantungnya sendiri.  Aku menatapnya bingung. Tapi matanya seolah berbisik. “ayo tusuk aku!” aku menangis sejadi-jadinya sambil menusukan pisau itu pada jantung pria di hadapanku. Darah segar mengalir membasahi kemeja putih yang pria itu kenakan dan sebagian lainnya mengotori tangan, wajah dan hati nuraniku. Aku memenggal kepalanya dan membungkusnya dalam karung besar.
                Aku berlari keluar membawa karung itu menuju gadis gilaku. Tanpa mengetuknya aku langsung membuka pintu rumahnya danmasuk ke kamar gadisku. Dia tersenyum memandangku yang masih terengah-engah dikejar rasa bersalah. Aku memberinya karung berisikan kepala pria yang membuatnya patah hati. Gadis gilaku memeluk sepenggal kepala itu dan menciuminya.
“kau tahukan apa yang harus kau lakukan sekarang?” aku mengangguk pelan. “bunuh aku, lalu gantung mayatku seolah aku bunuh diri.
                Sekali lagi ku keluarkan pisau yang menjadi saksi bisu atas semua yang kulakukan. Dan sekali lagi kuteteskan airmata. Kutusukkan pisau itu pada perut gadis yang paling aku cintai. Lalu kugantung tubuhnya yang masih setengah sadar, sedag meregang nyawa.
“k-ka-kau ba-baik seka…li. Tapi se-setelah ini a-aku masih mem..butuhkanmu. ba-bantu… aku menyatukan ci-cintaku dengannya didunia sana.” Dan gadis gilaku mati dengan mata terbuka menatapku.
                Malam ini tidurku terganggu karna suara berisik dari luar. Suara sirine mobil polisi sepertinya sedang mengepung rumahku. Suara pintu kamar yang berusaha didobrak lebih berisik dari yang kuduga. Aku tahu apa yang aku lakukan dan aku merasa tidak bersalah sama sekali. Aku hanya membantu gadis yang aku cintai. Ahh… iyaa… masih ada yang harus kulakukan. Aku masih harus membantu gadis gilaku dialam sana dan bilang padanya bahwa aku mencintainya. Aku mengambil obat tidur segenggam penuh dan meminumnya sekaliguis. Lalu aku kembali tidur mala mini. Yaah… setidaknya aku takkan bangun lagi.
Tamat
By: Camelia Athena kharin (Rin-chan)

Kamis, 19 November 2015

cerpen remaja - Be Your Hime

hai semua.. udah lama banget aku gak post di blog. ada beberapa hal yang membuatku sulit post di blog sih. kendala sekolah dan lain-lain :( tapi setelah lulus dan bebas, aku malah jadi sedikit males buka blog wkwkwk. ini cerpen yang aku buat berbulan-bulan lalu dan baru aku post sekarang.. have u like it :3

Be Your Hime
Ayo kita bermain, aku jadi puterinya

            Pagi di sekolah menengah atas selalu ramai seperti biasanya. Ramai dengan gossip dari anak perempuan, atau ocehan tidak penting dari anak laki-laki. Namun semua aktivitas terhenti ketika gadis cantik itu datang. Setiap langkah kaki gadis itu selalu menyita perhatian. Jelas saja, seorang puteri lewat mana ada yang sanggup tuk tidak melihatnya.
“waahh lihat dia cantik sekali yaa!” puji seorang murid yang melihat kehadiran puteri tersebut.
Wajah gadis itu tampak berseri. Rambut hitam panjangnya berayun-ayun mengikuti langkahnya yang anggun. Matanya yang besar dan bulat begitu indah hingga tak seorangpun mampu menatapnya terlalu lama. Selalu seperti ini pagi yang dialami  Chinami—nama gadis itu. Namun sepertinya pagi ini sedikit berbeda.
“an-ano Chinami, jadilah pacarku!” seorang pria tiba-tiba datang, berdiri di depan Chinami dengan se-bucket bunga ditangannya. Apa-apaan ini?!! Teriak Chinami dalam hati.
“ma-maaf, tapi sudah ada orang yang aku suka”, seperti biasanya Chinami selalu menolak dengan senyuman.
            Tanpa beban sedikitpun, Chinami melanjutkan langkahnya memasuki kelas. Sedangkan pria yang baru saja ia tolak tak bergerak sedikitpun. Hanya termangu. Teringat kembali pada Chinami yang baru saja menolaknya dengan senyum. Bukan senyum yang bahagia sepertinya.
“sudahlah Kei,kan udah kubilang kalau mengejar Chinami itu sama saja dengan mengejar angin. Buang-buang waktu saja” seseorang menepuk pundak pria tadi.
“aku belum menyerah kok” Kei tersenyum. “seorang puteri memang sulit tuk di gapai, bukannya itu wajar?”
“aaahh terserah kau saja lah”
            Siang hari ini terlihat sangat terik. Matahari sepertinya keterlaluan memberi udara panas hari ini. Bahkan kalau bukan untuk urusan yang penting, anak sekolahan menunda kepulangannya dan memilih berteduh di suatu tempat. Menunggu awan tuk sedikitnya membuat langit  teduh. Namun tidak tuk Chinami, ia sepertinya berjalan sedikit terburu-buru keluar dari sekolah. Dan seperti biasanya, Kei mengikutinya dari belakang. Mengikuti kemanapun Chinami pergi adalah kebiasaan Kei sejak dulu. Sejak Chinami pindah kesekolahnya dan mencuri hatinya. Sudah satu bulan sekiranya sejak Chinami pindah, dan sejak saat itu pula ia selalu menguntit Chinami.
            Tiba-tiba ia terkejut ketika mendapati Chinami jatuh terduduk di pinggir jalan. Tangan kanannya menutupi mulut dan tangan kirinya memegang dada, ia seperti menahan sakit. Dengan cepat Kei datang mendekati Chinami.
“Chinami kamu gak apa-apa?” Tanya Kei khawatir.
“ahh iya, aku gak apa-apa kok” Chinami berdiri dan tersenyum pada Kei.
“kamu yakin?”
“iya, aku Cuma kelelahan mengejar seseorang”
            Mereka akhirnya berteduh di kedai ice cream pinggir jalan. Pandangan Kei tidak terlepas dari wajah manis Chinami. Gadis itu selalu tersenyum, namun tampaknya ia tak begitu bahagia. Ia seperti seorang puteri dalam dongeng, tapi belum memiliki akhir yang bahagia. Seperti kisah Cinderella dengan kehidupannya yang sengsara. Atau seperti rapunzell dengan kesendiriannya. Terkadang Chinami seperti puteri tidur dengan penantiannya.
“kamu yang tadi pagi kan?” pertanyaan Chinami memecahkan lamunan Kei.
“ahh iya, maaf ya tiba-tiba bilang begitu, padahal kamu belum kenal aku kan?”
“ohh gak apa-apa kok, aku Cuma kaget aja” Chinami berkata tanpa ekspresi, kemana senyum palsu yang biasa ia perlihatkan pada orang-orang?
“namaku Kei, dari kelas 3-1”
“salam kenal ya Kei, maaf yaa aku gak bisa balas perasaanmu. Aku suka sama orang lain.” Kali ini Chinami tersenyum sambil menatap mata Kei. Gadis itu berdiri dan merapikan rok pendeknya. Chinami melangkah pergi, sekali lagi… Kei di tinggalkan oleh Chinami.
“Chinami!” panggil Kei. Suara kerasnya berhasil membuat Chinami berhenti melangkah dan menengok kearahnya.
“ada apa?”
“kalau begitu, tidak usah jadi pacar. A-aku jadi pelayanmu saja! Aku akan menjadi pelayan tuan puteri!” Chinami tidak langsung menjawabnya. Jelas sekali tergambar di wajah gadis itu kalau ia sangat terkejut. Chinami memperlihatkan senyumnya kembali, senyum palsu yang ia perlihatkan pada semua orang.
“baiklah, ayo kita bermain sebentar. Aku jadi puterinya dan kamu pelayanku.”
            Gadis itu menatap Kei dengan lembut. Sorot matanya seakan ingin mengungkapkan sesuatu. Langkah kakinya begitu ringan kala ia datang mendekati Kei. Chinami tersenyum manis. Sedangkan pria yang ia beri senyum mematung, seakan udara panas itu membekukan tubuhnya.
“pelayanku… tolong bawakan tas-ku ya hihi” Chinami tertawa jahil dan dengan santai memberikan tasnya pada Kei. Kei menerimanya tanpa memalingkan pandangannya pada Chinami.
“eh?”
“kenapa Kei?”
“ah tidak, kita mau kemana?”
“aku ingin jalan-jalan sebentar, kamu gak ada acara kan?”
“ahh tidak”
“bagus kalau begitu.” Chinami melangkah ringan mendahului Kei, memimpin perjalanan mereka.
            Kei berjalan di samping Chinami. Gadis itu tampak menikmati perjalanannya namun pandangannya terlihat kosong. Tak ada yang tahu pasti mengapa seorang puteri seperti dia memiliki hidup yang tak menyenangkan. Chinami gadis yang cantik, wajah terdiamnya bahkan tampak seperti boneka. Suaranya sangat lembut dan senyumnya manis. Tapi apa yang membebani hidupnya hingga semua yang ada pada diri Chinami tampak palsu?
“ano Chinami” panggil Kei ragu saat mereka sampai di suatu taman.
“apa?” gadis itu menjawabnya dengan senyum.
“seperti apa orang yang kamu suka itu?”
“eh?” gadis itu terdiam. Langkah ringannya terhenti pada sebuah ayunan. Chinami duduk disana. Kedua tangannya berpegangan pada tali ayunan. “Kei dorong ayunannya” sepertinya Chinami tidak ingin menjawabnya.
Kei menyimpan tas mereka berdua di tanah dan berjalan kebelakang ayunan Chinami. Perlahan Kei mendorong ayunan tersebut. Dalam hembusan angin yang menyertai gerak ayunan tersebut, Chinami tertawa lepas.
“dulu juga aku dan dia suka bermain ayunan disini” kata Chinami dengan mata tak terlepas dari birunya langit.
“dia?”
“orang yang aku suka. Tadi kamu menanyakan itu bukan?”
            Kei tidak berhenti mendorong ayunannya. Rambut panjang Chinami menari-nari di belai angin. Ketika seseorang ingin bercerita, biasanya mereka saling berhadapan. Tapi kenapa Chinami lebih memilih membelakangi Kei?
“dia jahat, karna tak memberiku kesempatan tuk bilang suka,” dari belakang Kei melihat bahu gadis itu sedikit bergetar. “kami sudah kenal sejak kecil, dan sejak itu pula aku selalu menyukainya, tapi sepertinya dia tidak memiliki perasaan yang sama denganku.”
Kei tidak menjawab kata-kata Chinami. Padahal ia yang menanyakan hal tersebut, tapi kenapa kini bibirnya begitu kaku hingga tak mampu tuk berkata? Sekali lagi Chinami memberikan tawa palsu. Tawa yang ia buat agar semua mengira gadis itu baik-baik saja.
“sebulan yang lalu aku pindah kesekolahmu Kei, aku ingin bertemu dengannya” kaki gadis itu menahan dorongan ayunan dari Kei. Sudut mata Chinami melirik pria yang berdiri di belakangnya. “aku sudah berkeliling mencarinya, tapi dimanapun itu aku tak dapat menemukannya. Mungkin dia tidak ingin bertemu denganku” Chinami menoleh kebelakang.
            Ujung mata gadis itu tertahan airmata. Mungkin bila Chinami meneruskan ceritanya gadis itu akan menangis. Kei mengambil sapu tangan di saku celananya dan mengusapkannya pada ujung mata Chinami.
“gadis cantik tidak pantas untuk menangis.” Kei menyunggingkan seutas senyum berharap Chinami sedikitnya terhibur.
“aku gak nangis kok!” Chinami merebut sapu tangan Kei dan menghapus airmata yang hampir mengalir itu.
“kalau begitu ayo pulang ohime-sama, ini sudah terlalu sore”
Chinami mengangguk sambil tersenyum. Kei segera mengambil tasnya dan tas Chinami sedangkan gadis itu sudah berjalan duluan keluar taman. Kei sedikit berlari menyusul gadis itu. Kisah cinta puteri-nya itu sungguh tidak menyenangkan. Dongeng macam apa yang membiarkan seorang puteri menderita begitu lama? Tapi Kei tahu, ini semua bukan dongeng karangan manusia yang sejak awal sudah direncanakan akhirnya. Ini adalah cerita karya Tuhan dan tak ada yang tahu akan bagaimana akhir cerita ini.
“rumahku kearah sana, kita berpisah disini saja ya” kata Chinami ketika mereka berhenti di sebuah perempatan.
“oh iya. Ini tasnya.” Kei memberikan tas Chinami.
“arigatou yaa buat hari ini pelayanku” Chinami tersenyum manis dan berlari kearah gang rumahnya.
“Chinami.” Panggilan Kei menghentikan langkah ringan gadis itu.
“apa?”
“kalau boleh tau siapa nama orang yang kamu suka? Mungkin aku bisa bantu mencarinya, aku kan sudah sekolah disitu sejak kelas satu.”
“percuma saja… kamu gak bisa bantu apa-apa Kei”
“mana bisa aku diam saja ketika orang yang aku suka menderita. Mungkin ini akan menyakitkan tapi biarkan aku membantumu Chinami. Seorang puteri sudah seharusnya memiliki akhir yang bahagia dengan pangerannya. Aku sebagai pelayanmu akan selalu membantu Chinami-hime”
“baiklah,” Chinami membelakangi Kei lagi dan maju selangkah bersiap pergi. “ nama orang yang aku suka itu…” gadis itu menggantung kata-katanya, befikir sejenak apa baik bila dia memberitahukannya pada Kei. “Ryuuta kyosuke” Chinami melangkah pergi.
            Kei yang mendengarnya seakan menatap Chinami tidak percaya. Dengan cepat Kei berlari menyusul Chinami. Pria itu berhasil menggapai tangan Chinami. Kei menarik Chinami dalam rengkuhannya. Bahu Chinami bergetar seperti menahan sesuatu.
“tapi Ryuuta Kyosuke… sebulan yang lalu sudah meninggal karna kecelakaan.” Kei berbisik pelan.
“aku tau!” Chinami menangis sejadi-jadinya dalam pelukan Kei. “aku tahu… aku tahu ini sudah terlambat. Aku tahu! Andai aku datang lebih cepat”
Kei tidak bisa menahannya lagi. Air mata Kei ikut mengalir melihat puterinya ternyata begitu menderita. Sosok yang selalu tersenyum ternyata menahan duka yang sangat dalam di hatinya. Menderita tidak cocok dengan Chinami. Seorang puteri lebih cocok bahagia. Itu yang Kei tahu. Chinami berbalik dan menatap Kei.
“kenapa kamu malah ikut menangis?”
“aku ikut sedih, pasti rasanya sangat menyakitkan”
“tidak apa-apa kok! Aku sungguh tidak apa-apa, oiya! Besok kau sudah tidak perlu jadi pelayanku.” Chinami tersenyum seperti biasanya, seakan tidak terjadi apa-apa.
“kenapa?”
            Gadis itu tidak menjawabnya. Chinami melangkah menjauhi Kei berniat tuk meninggalkannya. Ujung mata gadis itu masih menitikkan airmata mewakili rasa sakit yang tak bisa hilang. Kei berjalan mengikutinya. Pria tidak seharusnya membiarkan seorang wanita pulang sendiri dalam keadaan seperti itu. Sakit… sangat sakit, sekiranya itu yang dirasakan Kei. Sakit melihat orang yang disukainya menderita. Sakit melihat cintanya kini sama sekali tak berguna. Sakit karna sekarang ia merasa sangat bodoh. Kenapa semua jadi seperti ini? Sejak awal ini memang salahnya karna mencintai seorang puteri seperti Chinami.
“Kei… kau tidak perlu mengikutiku” kata Chinami tanpa melihat kearah Kei.
“lalu bagaimana dengan perasaanku?” kata-kata Kei membuat gadis itu berhenti melangkah.
“apa aku membuatmu menderita? Apa sikap puteri ini membuatmu tak nyaman?”
“tidak! Bukan seperti itu! Kamu tahu kan kalau aku sangat menyukaimu, kenapa… kenapa kamu tidak mencoba melihatku sedikit saja! Jangan bersikap bodoh dengan terus memikirkan orang yang tidak ada.”
“maaf saja jika aku bersikap bodoh!” Chinami melangkah pergi. Semakin lama langkahnya semakin cepat. Kei berusaha mengejarnya, matanya terus tertuju pada Chinami seakan ia tak ingin kehilangannya. Kei berhasil menggenggam tangan puterinya.
“aku… kalau aku pasti bisa membuatmu bahagia, ku mohon… selamanya tetaplah jadi puteriku.”
“Lupakan saja! Perasaanmu itu, atau apapun yang ada dalam dirimu tentang diriku tolong lupakan saja!” Chinami menatap Kei dalam. Begitu dalam. Walau kata-katanya begitu halus namun terasa menusuk. Angin senja meniup perasaan mereka ke langit. Menyadari bahwa sesuatu tak bisa di paksakan. Kei menatap balik iris coklat Chinami. Begitu indah. Dan begitu penuh air mata. Seperti ada sesuatu yg tertahan. Menahan Kei tuk berhenti masuk lebih dalam lagi.
“baiklah. Mulai besok, ya, mulai besok aku akan melupakan semuanya. Aku tak akan jatuh cinta lagi padamu. Aku tak akan menjadi pelayanmu lagi. Aku… aku tak akan melihatmu lagi”
“baiklah, kau tak akan melihatku lagi besok.” Chinami tersenyum pahit.
“tapi aku punya permintaan”
“apa?”
“izinkan aku mengantarmu pulang, setidaknya sampai depan rumahmu. Untuk yang terakhir, sebelum aku melupakan semuanya”
            Chinami hanya mengangguk mewakili kata ya. Langit kemerahan sedikit demi sedikit berubah menjadi gelap. Sama halnya dengan Chinami yang sedikit demi sedikit kembali seperti biasanya. Senyum palsu sang puteri kini kembali. Gadis ramping itu sudah banyak bicara lagi, ia membicarakan banyak hal tentang masalalunya. Begitu ceria. Antusias. Dan dia berbohong atas senyumnya itu. Atas segala sesuatu. Chinami berbohong atas semuanya.
“ini rumahku” kata Chinami setelah mereka sampai di sebuah rumah berpagar tinggi.
“ohh iya, kalau begitu aku pulang dulu”
“ahh iya Kei, aku ingin mengatakan sesuatu”
“apa itu?”
“aku sungguh bahagia, menjadi puterimu itu sungguh menyenangkan.” Kei tidak menjawab Chinami yang kini menatapnya dalam. “mungkin kau sebenarnya bukan pelayan, tapi seorang malaikat yg di datangkan tuk menghiburku hihi”
“syukurlah kalau kau senang, Chinami”
“aku bersyukur bertemu denganmu.” Chinami mengaduk-aduk tasnya, ia mengambil sebuah memo dan menuliskan sesuatu. Lalu gadis itu merobek lembarannya dan melipatnya jadi kecil. Chinami memberikan lipatan kertas itu pada Kei.
“apa ini?” Kei mau membuka lipatannya.
“jangan di buka!” Chinami menghentikannya. “berjanjilah satu hal lagi, kalau kau sudah benar-benar melupakanku kau baru boleh membukanya!”
“baiklah aku berjanji.” Kei memasukkan lipatan kertas kecil itu dalam saku celananya.
“kalau begitu, selamat tinggal Kei” Chinami dengan cepat membuka pagar dan masuk kedalam. Gadis itu segera menutup pagar itu agar tak ada satu orangpun yang menyadari bahwa ia menangis. Sampai disaat terakhirnya bertemu dengan Kei, gadis itu tetap berbohong kalau ia bahagia.
            Kei melangkah pulang. Seperti ada sesuatu yang menghilang darinya. Dia seperti kacang tanah yang telah di ambil isinya. Dia hanya kulit kosong tak berguna. Tapi dia tidak boleh terus begini, ia harus meneruskan hidupnya. Kei kembali tersenyum. Pria itu kembali meneruskan hidupnya.
            Keesokan harinya Kei benar-benar tidak melihat Chinami. Ruang kelas mereka memang sangat berjauhan, itu hal yang wajar jika ia tidak melihat Chinami. Begitupun hari-hari selanjutnya, sosok puterinya kini menghilang. Setelah liburan musim panas, Chinami pun tetap tak terlihat meski ia sengaja menunggunya di gerbang. Musim gugurpun terlewatkan tanpa kehadiran Chinami. Dia dedaunan yang gugur di musim ini, dia begitu cepat jatuh dan menghilang. Dia seperti salju di musim dingin. Kristal salju yang indah saat melayang diudara, menghilang ketika menyentuh tanah. Begitu cepat. Chinami menghilang begitu cepat. Hingga Kei berhasil melupakan gadis itu. Sosok puteri itu kini lebih seperti mimpi di siang bolong.
            Sampai pada saatnya upacara kelulusan. Kei dengan tenang mendengarkan pidato dari kepala sekolah. Sesekali matanya mencari sosok puteri diantara siswa yang lainnya. Namun ia tetap tak menemukannya. Satu-satunya hal yang mengingatkannya pada Chinami adalah lipatan kertas kecil yang senang tiasa ia bawa kemanapun ia pergi. Kei membolak balik kertas itu, ia sangat ingin membukannya.
“…begitu banyak hal yang terjadi selama kalian berada di sekolah ini…” potongan pidato kepala sekolah sedikit terdengar oleh Kei.
“dan kita telah kehilangan 2 orang teman tercinta kita, yang pertama adalah Ryuuta Kyosuke yang meninggal karna kecelakaan musim panas lalu. Sosoknya begitu baik dimata kita…”
Kei tersenyum tipis mendengar nama itu di sebut. Pikirnya langsung melayang pada Chinami yang begitu mencintai Ryuuta Kyosuke. Apa yang dipikirkan gadis itu ya ketika nama orang yang ia cintai di sebut dalam pidato perpisahan.
“dan yang kedua adalah Akari Chinami yang sama-sama meninggal musim panas lalu karena penyakitnya. Kami takkan pernah melupakan wajah cantik dan pribadinya yang baik…”
            Kei terkejut mendengarnya. Ia menatap tak percaya pada semua yang ada di depannya. Beberapa orang di sekitarnya juga tampak terkejut. Chinami… gadis cantik itu meninggal. Dengan cepat Kei pergi keluar Aula. Ia berlari dengan cepat dan terus berlari. Ia berusaha keras menahan airmata. Dan akhirnya ia sampai ke atap sekolah. Kei merogok saku celananya kasar, mencari lipatan kertas yang Chinami berikan padanya. Kei menemukannya. Perlahan ia membuka lipatannya dan membaca isinya. Tulisan kecilnya sulit dibaca dengan mata yang penuh airmata tertahan. Kei mengusap matanya dan mencoba membacanya. Isinya:
Kei… jangan lupakan aku ya! –Chinami-
“aku tidak akan melupakanmu, Chinami-hime”
Kei menangis sejadi-jadinya. Mengapa ia tidak sadar kalau Chinami sedang sakit saat itu. Mengapa ia baru mengetahuinya? Chinami, seorang puteri dari negeri hayalan Kei memiliki akhir yang tak bahagia. Sungguh dongeng yang menggelikan. Cintanya pada Chinami seperti secangkir kopinya di pagi hari. Begitu hangat. Pekat. Manis. Dan datang terlambat. Sedangkan Chinami sendiri seperti bunga mawar di musim semi. Ia begitu cepat mekar, dan ia begitu cepat layu. Chinami… kau pergi terlalu cepat.

Tamat

By : Camelia Athena Kharin (Rin-Chan)

Sabtu, 07 Maret 2015

dear memory

hanya melihatmu saja itu sudah cukup

cukup menyadari kalau aku ini bodoh
bodoh karna tak bisa melupakanmu sampai saat ini
ternyata bukan keputusan terbaik ketika kita memilih orang lain untuk melupakan seseorang.

naif, begitu naif!

Jumat, 06 Februari 2015

cerpen - melipat kertas

akhirnya bisa bikin cerpen ini di tengah-tengah kesibukan wwkwkkwk... tadinya endingnya bakal happy. tapi ga jadi karna terlalu biasa.. jadi aku bikin yang sedikit beda tapi tetep happy haha. selamat membaca, di tunggu kritiknya yaa
Melipat Kertas
(apalah arti teman sebenarnya?)

                Seseorang pernah bilang teman seharusnya adalah orang yang bisa kau percaya. Buan sekelompok orang yang berkumpul dalam kelompok kecil dan pergi belanja ersama. Teman selalu ada disaat salah satunya membutuhkan dan kemudian membantunya. Memang seharusnya seperti itu, selalu seperti itu. Namun ternyata itu tak berlaku padaku. Ketika seseorang yang hanya berperan sebagai teman, selalu berharap menjadi ratu.
“hei.” Seseorang mengusap kepalaku dan duduk disampingku. Dia temanku.
“ah Kei!” aku tersenyum lebar. “mau permen?” lanjutku seraya menyodorkan beberapa permen di tangan. Dia mengambilnya dan ikut tersenyum.
“makasih ya Micchan” sekali lagi, tangan besarnya mengusap ujung kepalaku.
                Aku hanya menggeleng pelan bersiap tak suka bila dia mengusap kepalaku. Padahal tangannya begitu hangat kala sentuhan lembutnya menenangkan hatiku. Ahh… Kei, aku selalu senang berada didekatmu. Mungin ini artinya bahwa teman adalah seseorang yang dapat menenangkan hatimu. Ku tatap langit dengan gumpalan-gumpalan awan yang seperti kapas. Sosoknya tak pernah lepas walau hanya ujung mataku yang mengawasi. Ku lihat ia memandang langit yang sama.
“Michiko” ia memanggilku.
“apa?” jawabku singkat.
“ku rasa aku menyukai seseorang” Kei tersenyum tipis.
                Angin musim panas membelaiku lembut. Anehnya angin itu terasa dingin. Seperti ada sesuatu yang memukulku tepat di dada. Rasanya sait.
“oh wow!” sebuah senyum palsu terlukis di wajahku. “siapa dia?”
“kamu tau kan Kyo? Teman sekelasmu. Kurasa aku menyukainya.” Senyumnya melebar.
“ahh… dia memang cantik, terkenal pula. Gak heran alau kamusuka dia.”
“kamu mau bantu kan?” mata tajamnya menatapku penuh harap.
                Dadaku berdegup kencang. Tunggu! Ini adalah hal yang biasa terjadi bila Kei menatapku. Tapi mengapa kini detakannya terasa sakit? Mengapa sungguh sulit bagiku mengucapkan kata ya ? mengapa aku ingin menangis? Aku mengangguk mewakili kata ya yang enggan terucap.
“Kei” panggilku beberapa saat setelah kesunyian memeluk kita.
“apa?”
“menurutmu rasa suka itu seperti apa?” dia tampak berfikir.
“rasa sua itu mungkin semacam tertarik,” ia berhenti sejenak seperti mencari kata-kata yang pas tuk di ucapkan. “bila kau dekat dengan sesuatu yang membuatmu tertari, rasanya menyenangkan bukan?”
“tentu saja. Kalau dekat dengan sesuatu yang menarik, aku selalu ingin memilikinya. Dekat dengan sesuatu yang menarik itu menyenangkan.” Jawabku antusias.
“yah mungkin begitulah rasa suka menurutku”
“kalau gitu artinya, kamu tertarik pada Kyo? Kamu… ingin memiliki Kyo?” bodoh! Kenapa aku bertanya seperti itu?
                Kei tidak menjawabku. Wajahnya tampak berseri dengan senyum yang manis. Biasanya senyum itu dapat mengobati setiap sakit dihatiku, namun tidak untuk saat ini. Ia melangkah pergi, meninggalkanku di kursi taman sendirian. Membiarkanku larut dalam fikir. Memikirkan sebuah jawaban yang sengaja tak ia jawab. Bila rasa suka itu untuk menggapai hal yang menyenangkan, apa bedanya dengan bersenang-senang? Toh tujuannya sama.  Bila seorang teman bisa cukup menyenangkan, mengapa harus mencoba memiliki orang yang kita suka. Sungguh… aku tidak mengerti.
                Aku berjalan pelan pulang ke rumah. Masuk ke kamar dan menutup pintunya tanpa menimbulkan bantingan yang berarti.  mengambil secarik kertas dan mencoret-coretnya dengan kata-kata konyol tentang perasaanku.  Kulipat kertas itu menjadi lebih kecil dari ukuran aslinya. Aku suka Kei. Temanku yang paling dekat, kurasa. Sudah lama ku sadari perasaan ini. Tapi bagaimana mungkin seseorang yang hanya bisa melipat kertas mengungkapkan itu semua. Mengungkapkan setiap detak jantung yang tak berirama. Aku hanya teman yang begitu pemalu, tak pantas tuk bilang suka. Lipatankertas itu kusimpan di dalam toples bersama lipatan  kertas lainnya.
                Keesokan harinya didalam kelasku, aku melihat Kyo. Perempuan cantik yang sedang bercanda bersama kelompok kecilnya. Entah sejak kapan sosoknya begitu menghantui otakku. Mungkin sejak Kei bilang bahwa ia menyukai sosok ratu seperti Kyo. Ku kira, aku cemburu. Hei… aku berperan sebagai teman saat ini. Teman seharusnyamembantu, itu yang kutahu. Rasa suka murahan dalam hatiku tak berati bagi Kei. Aku akan lebih berarti bila bisa membantunya.
“Kyo” panggilku seraya menghampiri sosok ratu itu.
“hei Michiko, ada apa?” senyum lebarnya begitu indah.
“boleh minta nomor handphonemu? Kurasa teman dekatku menyukaimu” aku tersenyum kecil.
“tentu saja” Kyo terlalu baik.
                Tangan lembutnya mengambil secarik kertas dan menulis deretan angka yang sudah ia hafal. Memberikannya padaku dengan senyum yang tak lepas dario paras cantiknya. Aku sedikit membungkuk mewakili kata terimakasih dan duduk kembali di tempat dudukku. Ku pandangi kertas tersebut sambil melamun. Ku lipat kertas itu menjadi lebih kecil dari ukuran aslinya. Kulipat lagi kertas itu. Ku lipat lagi. Kulipat lagi hingga mungkin bisa ku lipat lagi. Kusimpan lipatannya di skau rok pendeku dan mulai fous pada pelajaran hari ini.
                Sepulang sekolah Kei meungguku seperti hari-hari sebelumnya. Wajahnya memperlihatkan rasa bahagia yang tak bisa ia sembunyikan. Aku begitu penasaran, ia tak pernah begitu ceria seperti saat ini.
“Micchan, aku punya kabar baoik!” katanya beberapa detik setelah aku sampai di dekatnya.
“aku juga punya”
“tadi aku bertemu Kyo” katanya sambil berjan dan menggiringku jalan di sampinya. “aku mengobrol dengannya, dia sangat baik. Sangat menyenangkan bertemu dengannya” dia tampak bersemangat.
“wah baguslah. Ternyata ada peningkatan.” Aku tersenyum lebar, begitu palsu bila ia mengerti.
“haha iya, mungkin semua akan berjalan lancar sekarang.” Dia mengusap ujung kepalaku namun pandangannya kearah lain, sekilas ia menatap langit, sekilas ia menatap masa depan percintaannya yang akan menyenangkan.
“kamu gak mau taiu kabar baik dariku?” aku mencoba membuatnya penasaran.
“apa itu?”
“kamu pasti akan senang!”
                Aku merogok saku rok pendekku. Mencoba mencari lipatan kertas yang tadi pagi aku simpan. Ahh… ketemu! Dengan cepat ku keluarkan dan meyimpannya di tangan Kei. Aku berjalan beberapa langkah mendahuluinya selagi ia sibuk membuka lipatannya. Aku tak sabar melihat bagaimana reaksinya setelah lihat apa yang tertulis dalam lipatan itu.
“Micchan, aku gak percaya kamu dapet nomor handphonenya! Ini beneran nomor Kyo, kan?” tanyanya memastikan sambil melangkah cepat menyamakan langkahnya dengan langkahku.
“dia sendiri kok yang nulis” aku tersenyum.
“aaa… makasih ya Micchan.” Dia merangkulku setengah memeluk. Kebiasaanya bila ia terlalu senang dan tak bisa mengungkapkannya. Lalu kami berdua berpisah di perempatan yang memisahkan komplek rumah kami.
                Sebenarnya apa specialnya seorang teman ketika yang kita fikirkan adalah orang yang kita suka. Ahh… aku tidak boleh seperti itu. Seorang teman seharusnya mengerti. Kuambil secarik kertas, kutulis keluh kesahkku tentang perasaan konyol terhadap seorang teman. Kulipat kertas itu. Kulipat lagi. Kulipat lagi hingga sangat kecil dan tak lagi bisa kulipat. Ku masukkan dalam toples. Toples bening tempatku menyimpan perasaanku dalam lipatan kertas. Menyakitkan ketika kita bertahan tuk tidak memiliki. Tersenyum melihat seseorang yang kita suka memikirkan orang lain. Perasaan ini begitu menyakitkan. Dan tanpa kusadari, aku menangis.
                Hari-hari selanjutnya penuh dengan cerita Kei tentang ratunya dan bla bla bla… tak semua aku ingat. Dan aku tak ingin mengingatnya. Semakin kudengar cerita tentang Kyo semakin terasa menyakitan. Teman seharusnya saling mendukung. Walau perasaan ini, rasa suka dan cinta ini harus aku lipat dalam hati. Membiarkannya tetap terlipat dan menjaganya agar tidak terbuka.
“Micchan” panggil Kei.
“apa?”
“besok aku akan mengungkapkan perasaanku, rasa suka ini sudah tak tertahankan” Kei berkata padaku dengan wajah yang penuh keceriaan. Ahh Kei akku sebagai teman selalu bahagia bila kau bahagia.
“aku selalu mendukungmu.” Senyum palsu itu kembali menghiasi wajahku.
“besok datang ke O’Cafè dan lihat apa yang akan terjadi, percayalah ini akan jadi hari yang menyenangkan” dia tampak sangat bersemangat.
                Aku tidak menjawabnya. Dia mengsap epalaku dengan tangan hangatnya. Sungguh nyaman dan menyakitkan. Senyumnya sungguh manis dan menyakitkan. Kini melihat Kei sangat menyakitkan. Pria itu melangkah pergi, dan aku hanya dapat melihatnyatanpa mampu melakukan apapun. Aku menahan tangis sambil melipat brosur yang tanpa sadar aku pungut dijalan. Tapi pada akhirnya aku menagis juga.
                Keesokan harinya aku sudah duduk manis disalah satu kursi O’Cafè. Dari jauh au sudah memperhatikan Kei yang duduk tegang dikursi lain di ujung sana.Kei memperhatikanku dari jauh. Tatapannya cemas, dia tak tampak ceria. Aku tersenyum padanya. Mencoba memberi semangat meski aku tak tahu itu berguna atau tidak. Namun Kei tetap tak tersenyum dan tetap menatapku. Bahkan hingga Kyo datang dan duduk bersamanya. Aku tersenyum miris melihat keduanya.
                Aku mengambil secarik kertas dari buku catatan kecilku dan kutulis semua perasaanku. Aku menyukai Kei, sungguh aku menyukainya. Bukan hanya tertarik, tapi juga menyayangi dan mencintainya. Kata orang teman itu tak pantas memiliki perasaan seperti ini. Lalu apalah arti teman sebenarnya, ketika perannya begitu menyakitkan. Aku benci hanya menjadi teman untuk orang yang kucintai. Aku tahu ini salah, namun rasanya terlalu memuakkan, dan aku menangis. Untu kesekian kalinya aku menangis untuk Kei. Aku melihat kearah Kei dengan air mata yang belum sempat ke seka. Kei melihatku, oh tidak… dia tidak boleh melihatku seperti ini. Aku berlari keluar Cafè. Dengan kertas penuh peraaan yang terus kulipat menjadi kecil, kecil, dan lebih kecil lagi. Aku tidak kuat menahannya, bukannya aku tidak suka melihat Kei bahagia. Tapi ini sungguh menyakitkan.
Ku toleh kebelakang…
Kei mengejarku, langkahnya yang cepat hampir menyusulku.
                Tak ada gunanya lagi aku berlari. Aku menghentikan langkahku dan kutatap wajahnya. Dia tidak tampak baik-baik saja, begitu pula aku. Aku tersenyum pada Kei disela-sela tangisanku.
“Kyo menolakku” katanya dengan senyum yang dibuat-buat.
“begitu ya” jawabku pelan.
“anehnya aku tidak merasa ini akhir dari segalanya, yah mungkin setidaknya aku masih memilikimu”
Aku tersenyum pada Kei dan berjalan menghampirinya. Ku berikan lipatan kertas yang sejak tadi kupegang. Dia menatapku bingung namun tak menola kertas yang tadi ku berikan. Dia membuka lipatannya dan membacanya.
Kei entah sejak kapan aku menyukaimu
Bahkan bila saat ini kau memilih orang lain, aku tetap menyukaimu
Bahkan bila saat ini waktutak memilih kita tuk bersama, aku tetap menyukaimu
Mungkin saat ini tak mungkin bagi kita tuk bersama, tapi masa depan siapa yang tahu
“miccah aku gak tahu kalau kamu—“
“Kei” aku memotong kata-katanya. “aku hanya menyukaimu, gak amsalah kamu mau suka aku atau enggak. Aku hanya ingin mengungkapkannya karna bila ditahan rasanya sakit.” Aku tersenyum lega. Dan sungguh tulus.
                Kei ikut tersenyum padaku. Dia merangkulku dan mengacak-acak rambutku. Aku membalasmya dengan memukul-mukul dia pelas. Kami tertawa bersama, terus seperti itu hingga kita pulang dan makan alam bersama. Kehidupanku kami kembali seperti semula. Dari Kei aku belajar menyukai, cemburu dan ikhlas tuk tidak memaksakan sesuatu. Aku senang dengan keadaanku seperti ini. Teman mungkin seharusnya tempat tuk berbagi banyak hal. Tempan tempat belajar banyak hal. Aku sadar itu, aku belajar itu semua.
Tamat

By: Camelia Athena Kharin (Rin-chan)

Selasa, 25 November 2014

cerpen remaja- Chocolova

haloo semuaaa.. setelah sekian lama tak membuat cerpen Thena baru bikin lagii.. haha.. menghabiskan waktu 4 jam buat bikin cerpen ini. lama bgt yah. yaa soalnya Thena udah lama gak buat cerpen, jadi kaku lagi deh. kata temen-temen sih ini cerpen seru, jadi aku upload deh. kritiknya ditunggu yaaa
Chocolova
Aku jatuh cinta pada matahari yang jahat
                Namaku Bulan, lengkapnya Rembulan. Nama yang sederhana cukup untuk wanita yang sederhana sepertiku. Aku tidak menonjol di sekolah maupun di ekskul. Tak ada yang special dari diriku. Tapi bukan berarti aku tidak punya seseorang yang special.
“Lan, mau ke kantin nggak?”, Bintang temanku memanggil. Aku hanya jalan mengikutinya tanpa mengatakan sepatah katapun.
Dan aku melihatnya lagi… matahariku selalu tampak bersinar setiap hari. Pria yang sama-sama tak menonjol. Entah kenapa aku sangat tertarik padanya. Terlebih lagi saat aku tahu namanya Surya. Saat temanku sedang sibuk memilih makanan, aku berjalan mendekati Surya.
“hai Surya” sapaku ramah. Dia hanya menoleh dan tak menjawab. “sendirian aja nih?” dia tidak menjawab lagi. Memang pada dasarnya Surya itu terlalu pendiam, susah tuk didekati.  Senyum yang tadi kuberikan padanya kini telah memudar. Aku memutuskan pergi dan membeli makanan kecil.
“Lan, kamu berusaha ngedeketin Surya lagi yaa?” Tanya Bintang sambil sibuk melahap bakso yang tadi ia pesan.
“Gak tau kenapa, kok aku tertarik banget sama dia”
“jangan-jangan kamu suka lagi Lan sama Surya, Please Lan… kalau mau suka sama cowok, jangan yang super garing kayak gitu”
Aku hanya tertawa kecil, yaa… mungkin aku memang suka sama Surya. Coklat pagi ini dipadu oleh kismis. Agak asam tapi tertutupi oleh manisnya coklat. Pandanganku tak terlepas pada Surya yang selalu memakai headset dan membaca buku.
Kalau aku suka dia kenapa memang?
Ketertarikanku tak tertahankan. Banyak pertanyaan yang ingin sekali kutanyakan padanya. Surya mengapa sendiri? Surya mengapa tak menjawab sapaanku? Surya mengapa mengacuhkanku?
                Sore di daerah rumahku dihiasi oleh dedaunan basah bekas hujan tadi siang. Memandang keluar jendela tanpa tahu harus melakukan apa di sore yang membosankan ini. Coklat dengan kacang mede sepertinya pas. Tapi aku tahu, coklatnya sudah habis. Kuputuskan tuk pergi ke mini market, membeli beberapa kotak coklat. Angin dingin menerpa tubuhku berbuah getaran di setiap langkah. Sesekali ku berfikir tuk kembali kerumah dan minum kopi susu. Tapi semua berubah ketika aku melihat matahariku masuk ke minimarket. Dengan cepat aku ikut masuk ke minimarket. Mataku menjelajah ke seluruh sudut minimarket itu. Sinar dari matahariku selalu bisa kutemukan, aku bertemu dengan Surya.
“eh Surya… kebetulan banget ya kita ketemu” aku memamerkan semua gigiku.
“kamu… Rembulan ya? Dari kelas IPA3” kata-kata pertama yang matahariku ucapkan. Senyumku semakin lebar.
“iya, Surya lagi apa? Ko aku baru liat kamu ada di minimarket ini?”
“beli cemilan, iya aku baru pindah kedaerah sini” aku rasa Surya lebih ramah dari pada disekolah.
“wah deket dong sama rumah aku, aku bisa main kan?”
“gak boleh” jawaban yang sangat jahat.
                Aku segera mengambil coklat dan membayarnya d kassa. Kulirik Surya yang masih memilih-milih makanan yang akan dia beli. Berat rasanya keluar dari minimarket itu. Meninggalkan matahariku dan kehilangan cahayanya. Aku menunggu di depan minimarket. Lama sekali sampai aku bosan.  Memandang langit keemasan di padu dengan coklat kacang mede yang manis. Menunggu matahariku keluar dari minimarket dan entah apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Dan Surya keluar dari minimarket.
“Surya!” panggilku.
“eh? Kamu?” dia tampak kaget.
“aku nunggu kamu tau”
“mau apa?” tanyanya
“eh? Itu… aku gak tau hahaha. Aku Cuma mau temenan sama kamu aja kok. Di sekolah kamu selalu menghindar dari aku, aku kayak orang bodoh tau ngomong sendiri” keluhku pada sikap dia di sekolah.
“eh… maaf ya, jadi aku harus gimana?” dia menatapku bingung. Ahh… matahariku terlalu bersinar, terkena sinar matahari membuat pipi merah. Itu wajarkan?
“aku bantu bawain belanjaan kamu ya” aku merebut salah satu kantung plastic yang Surya pegang.
                Dia tidak berkomentar, dan sepertinya dia tidak keberatan. Matahariku terlalu baik. Disaat semua orang menjauhiku karna sikapku yang seenaknya, Surya membiarkanku tetap berada disisinya. Aku senang… mungkin coklat dengan kacang mede takkan habis sore ini.
Aku ikut masuk kerumah sederhana milik Surya. Aku tak melihat siapapun dirumahnya. Beberapa barang masih rapi dalam dus besar, mereka benar-benar baru pindah.
“ke kamarku saja ya, disini masih berantakan” kata Surya tanpa melirikku.
Aku menjawabnya dengan anggukan semangat.
                Aku masuk ke kamar pria yang lebih rapi dari kamarku. Matahariku sangat sempurna, selain baik dia juga apik. Aku bisa tambah suka padanya. Surya membawakanku cemilan yang sepertinya ia beli tadi dan teh hangat dalam cangkir putih.
“Rembulan” panggilnya.
“panggil aja Bulan” kataku.
“oiya Bulan, kamu gak apa-apa kalau jam segini belum pulang?” dia khawatir ya? Senangnya.
“mama sama papaku belum pulang kerja, daripada dirumah sendirian, mending main hehe” aku tak menghilangkan keceriaanku pada matahariku. Semoga dia suka padaku.
“oh gitu” jawabnya dingin
                Seharusnya matahari itu hangat, itu yang aku tahu. Tapi Surya malah bersikap dingin pada Rembulan yang ingin berteman dengan mataharinya. Aku tak tahu harus berkata apa sekarang, semakin ku memikirkan Surya, dadaku semakin sesak. seperti menahan sesuatu yang besar dan rasanya ingin menangis. Matahariku kapan kau sadar bahwa Rembulan ini sangat menyukaimu.
“lucu ya” kataku tanpa memandang matahariku.
“apanya?” dia bingung.
“nama kita, Surya dan Rembulan hahaha”
“oh itu, kebetulan aja”
“mungkin kita jodoh.” Surya hanya memandangku tanpa menjawab. Wajah tampannya ia palingkan pada jendela. Sudut bibirnya menaik, matahariku tersenyum. Manis sekali.
“sudah sana pulang, sudah terlalu sore. Aku gak akan nganter kamu pulang, aku masih harus beres-beres” dia mengusirku, tapi aku senang. Dibalik kata-katanya terselip perhatian padaku. Sedikit sih, tapi rasanya aku pengen lompat-lompat gak bisa menahan rasa senang dengan hanya duduk.  Aku mengerucutkan bibirku, berpura-pura marah padanya.
“wah Surya ngusir nih.. hehe iya deh aku pulang. Dah Surya” aku berjalan sendiri keluar dari rumah Surya. Matahariku benar-benar tak mengantar Rembulannya pulang. Padahal sebentar lagi Rembulan akan menggantikannya bersinar dilangit.

Matahariku… aku sangat bahagia bertemu denganmu hari ini. Semoga hari-hari selanjutnya kita bisa seperti tadi yaa..
guys… Rembulan ini jatuh cinta pada mataharinya…
                keesokan harinya waktu istirahat adalah waktu yang paling kutunggu-tunggu. Karna hanya pada saat itu aku bisa bertemu dengan matahariku. Aku tak menunggu Bintang tuk pergi ke kantin, aku berjalan sendiri menuju kantin. Seperti biasa, aku melihat Surya matahariku sedang duduk sendiri sambil membaca buku.
“Surya!” sapaku ramah seperti biasanya. Dia hanya menoleh tanpa menjawab sapaanku, seperti biasa. “kenapa Surya gak pernah jawab kalau aku sapa?” tanyaku kesal, padahal kemarin dia ramah padaku.
“iya apa Bulan?” nadanya sangat datar.
“hehe nah gitu dong! Kenapa Surya sendirian?” tanyaku
“biar gak ada yang ganggu aku pas aku lagi baca buku” eh? Berarti aku ganggu dia dong. Jahatnya.
Aku duduk di sebelahnya, dia tidak mengusirku. Matahariku membiarkan Rembulannya tetap disisinya. Aku memandang setiap ukiran yang Tuhan berikan di wajah Surya. Begitu bersih dan tampan. Sayang matahariku terlalu tertutup.
“Surya” panggilku.
“apa?” dia menjawab tanpa memalingkan wajahnya dari buku.
“kalau aku suka sama Surya gimana?” dan semuanya menjadi hening.
Surya memandangku kaget. Wajahnya tergurat garis merah, mungkin sama sepertiku. Matahariku ayo jawab. Rembulan ini menunggumu.
“belajarlah” Cuma itu yang dia katakan?
“belajar apa? Gak mau, aku sudah cukup belajar di kelas” aku mengerucutkan bibirku, aku kesal.
                Surya berdiri dan mengusap ujung kepalaku lembut. Dia tersenyum tapi tak menjawab apa-apa. Lalu pria itu melangkah pergi. Meninggalkanku sendiri. Jadi aku di tolak ya? Ternyata sangat sakit ya. Aku berjalan lemas masuk ke kelas. Bintang pasti sudah pergi dengan orang lain. Aku tak terlalu peduli. Aku ingin mengambil coklat. Mungkin coklat dengan kacang mede sisa kemarin sore bisa mengembalikan moodku yang sudah terlanjur jelek. Tapi ternyata aku tak membawa coklat itu, ah sial! Aku membungkukkan tubuhku ke meja. Menenggelamkan wajah di lipatan tanganku dan menitikkan air mata. Ini terlalu sakit… matahariku sungguh jahat.
Guys… Rembulan ini jatuh cinta pada matahari yang jahat. Matahari telah menghancurkan hatinya dan membuat Rembulan ini menangis.
Guys… Rembulan ini bisa apa sekarang?
                Hujan yang tidak deras ini kembali menghiasi siang yang seharusnya cerah. Musim penghujan ini menyebalkan! Langit mendung ini menyebalkan! Genangan airnya juga menyebalkan. Aku benci… aku berjalan menerobos hujan dengan airmata yang entah sudah berhenti mengalir atau tidak.
“Bulan!” samar-samar aku mendengar ada yang memanggil namaku. Tapi aku menghiraukannya, mengapa semua tidak mengerti bahwa Rembulan ini sedang sedih. “Rembulan!”. Tunggu… sepertinya aku kenal suara itu.
“Surya?!” aku kaget, Surya berlari kearahku dengan payung biru tuanya.
“kamu ngapain hujan-hujanan? Bisa sakit tau” Surya membagi payungnya bersamaku.
                Aku tak menjawab Surya, hanya memandangnya sebentar sambil mengikutinya berjalan. Tubuhnya yang tinggi kini berada sangat dekat denganku. Matahariku yang jahat menyelamatkan Bulannya dari serangan air hujan. Matahariku itu jahat sekaligus baik disaat yang bersamaan. Matahariku… kamu bikin aku bingung. Surya mengantarku sampai depan rumah.
“Surya, makasih ya” kataku dengan senyum yang di buat semanis mungkin.
“iya”
“kalau Surya terus-terusan baik padaku, bisa-bisa aku semakin suka sama Surya” aku menunggu jawaban Surya. Dadaku berdebar-debar. Tolong lah Surya… jawab aku. Kamu menolakku atau menerimaku. Sekali lagi Surya mengusap ujung kepalaku sambil tersenyum.
“kalau gitu buat aku tertarik sama kamu” kata-katanya sangat jahat. Surya berjalan hendak pulang ke rumah.
“Surya!” panggilku.
“apa?”
“aku boleh minta nomor handphone kamu?” ku kira dia akan menolak memberikannya, tapi matahariku memang selalu baik. Dia memberikan nomor handphone nya.
                Semalaman aku terus mengirimnya pesan singkat. Matahariku yang jahat tidak selalu menjawab pesan singkatku, sekalinya menjawab hanya dengan kata-kata yang singkat. Tapi aku senang. Aku bertanya banyak hal padanya, dan dia selalu menjawabnya. Matahariku sudah menolak cinta dari Rembulannya, tapi Rembulan itu tak ingin jauh dari mataharinya. Coklat dengan paduan mocca turut tersenyum menemani malam yang terasa hangat di musim penghujan.
Guys… Rembulan ini jatuh cinta pada matahari yang jahat. Meski sudah di tolak, Rembulan ini tetap ingin bersama mataharinya.
Guys… Rembulan ini bisa apa tuk menarik perhatian mataharinya?
                Sejak saat itu aku selalu ingin bisa jadi apa yang Surya suka. Surya suka membaca, aku berlatih membuat beberapa cerpen tuk menarik perhatiannya. Surya suka idol grup asal jepang, aku ikut ekskul dance yang sering dance dengan lagu dari idol grup kesukaan Surya. Surya sangat suka lukisan, aku berlatih melukis hingga akhirnya aku bisa. Surya suka wanita yang manis, kuubah penampilanku menjadi semanis mungkin. Kini aku bukan Bulan yang dulu. Kini semua orang melirik kearahku. Menjadi hal yang Surya suka membuatku menonjol di sekolah. Kini aku terkenal sebagai wanita yang serba bisa. Surya… ketika aku sudah menjadi apa yang kamu suka… ketika semua orang melirik kearahku… kapan kau tertarik padaku Surya… matahariku, kamu memang jahat.
“Surya!” aku menemuinya di kantin seperti biasanya.
“apa?” jawabnya dingin seperti biasanya.
“apa kamu sudah tertarik padaku?”
“maksudnya?” Surya pura-pura tidak mengerti. Ayolah Surya… aku tidak suka main-main.
“aku sudah melakukan semua yang kamu suka, aku sudah berjuang hingga aku bisa melakukan semua yang kamu suka. Dan kamu masih gak tertarik padaku?”
“aku gak nyuruh kamu melakukannya kan?”
“tapi kamu suruh aku buat menarik perhatian kamu kan?”
“Bulanku” Surya mengusap ujung kepalaku, sungguh nyaman namun menyesakkan dada. “kamu tau kan alam takkan membiarkan matahari dan Bulan bersama. Sampai kapanpun, Bulan dan matahari tidak akan pernah bisa bersatu” Surya tersenyum manis, sungguh manis hingga aku menitikkan air mata.
“saat gerhana?”
“dan semua gelap”
“Bulan hanya bisa bersinar karna pantulan dari sinar matahari, tanpa matahari Bulan tak ada apa-apanya. Kamu gak pernah bilang suka padaku, tapi kamu selalu membiarkanku ada disisimu. Kalau memang tidak suka jangan beri aku harapan!”
                Aku berlari meninggalkan Surya, masuk ke dalam WC dan menangis sejadi-jadinya. Matahariku sungguh jahat, kalau memang tak bisa bersatu, kenapa ia membiarkan Bulannya terus ada disisinya. Kalau memang tidak suka, kenapa tidak bilang dari awal. Matahari yang ku dambakan terlalu silau. Ternyata memang sudah berakhir. Matahariku… aku tak sanggup lagi berjalan.
Guys… sekali lagi matahariku menghancurkan hatiku. Rembulan ini seperti tak bisa bernafas.
Rembulan ini kesal pada alam semesta yang tak pernah menyatukan Bulan dan matahari.
Rembulan ini benci kenyataan…
Mungkin Rembulan ini ingin mati saja.
                Keesokan harinya aku sampai disekolah dengan mata sembab dan merah. Lingkar hitam di sekeliling mata tak menyembunyikan kenyataan bahwa aku tak bisa tidur tadi malam. Sungguh matahariku telah mengguncangkan jiwaku. Membuatku tidak tenang. Apalah artinya hidup tanpa matahari. Matahariku… aku berharap kau datang dan minta maaf padaku. Bilang kamu suka padaku. Walau akhirnya Rembulan ini tetap tak bisa bersama matahari, setidaknya Rembulan masih bisa menikmati pantulan cahayanya kan?
“Lan, Surya nitip sesuatu buat kamu tuh” Bintang membangunkanku dari lamunan tak berujung.
“nitip apa?” aku hanya melirik Bintang.
“nih, katanya dia minta maaf. Kalian kenapa sih?” Tanya Bintang sambil memberikan gantungan berbentuk coklat padaku. Gantungan coklat sederhana pemberian Surya. Matahariku, bahkan disaat aku tak melihatmu kau tetap saja baik. Aku menggenggam gantungan itu sambil tersenyum.
“Suryanya sekarang mana?”
“gak tau, dia nitipnya kemarin.”
                Aku berjalan pelan munuju kantin tempat aku dan Surya biasa bertemu. Berharap matahariku memberikan sinarnya dan senyum pagi yang manis. Tapi aku tak melihat keberadaannya. Aku berkeliling kantin yang tidak luas itu, tapi Surya tak ada. Aku mencarinya ke kelasnya Surya, dan Surya juga tak ada. Mungkin matahariku terlambat. Aku kembali ke kelas tapi pikiranku masih terus mencari sosok matahari yang biasanya menyinari hari-hariku. Saat jam istirahat, aku segera berlari ke kantin. Sekali lagi… aku tak menemukan sosok matahariku. Aku menunggu lama disana, tapi matahariku tak kunjung terbit. Aku berjalan menuju kelasnya, dan mereka bilang Surya tidak masuk sekolah. Aku kembali ke kelas sambil menggenggam gantungan berbentuk coklat pemberian Surya. Matahariku Rembulan ini ingin mengucapkan terimakasih.
Guys… Rembulan ini kehilangan mataharinya. Kini bagaimana bisa Rembulan bersinar tanpa matahari.
Matahariku… kamu dimana sekarang? Rembulan ini rindu kamu.
                Aku berjalan menuju rumah Surya. Namun rumah itu tampak sepi seperti tak berpenghuni. Sepertinya tak ada orang di rumah itu sekarang. Keesokan harinya aku tetap tak bisa menemukan Surya. Aku tak pernah bertemu dengan Surya lagi. Di sekolah maupun di rumahnya. Matahariku yang tenggelam tak pernah terbit lagi.
                Aku memandang sendu gantungan coklat itu dan menangis sejadi-jadinya. Rembulan ini hanya bisa mengurung diri di kamar dan menyesal mengapa hari itu ia pergi meninggalkan mataharinya. Aku kesal ! aku melempar gantungan itu ketembok hingga gantungan berbentuk coklat itu terbelah menjadi 2. Hei… gantungan ini bukan hancur, tapi memang bisa di bagi 2. Aku memungutnya kembali dan menemukan secarik surat di dalam gantungan itu. Matahariku… ini darimu kan? Aku membacanya
Bulanku… saat kamu baca ini pasti kamu sedang mencariku ya?
Bulanku, sejujurnya aku sudah menyukaimu bahkan sejak kamu menyapaku tuk pertama kalinya.
Bulanku, mataharimu kini sedang sakit. Mana bisa aku bilang kalau aku juga menyukaimu.
Bulanku, kau bisa mencari cahaya dari Bintang lain selain pada mataharimu ini.
Surya…
Matahariku… kamu sakit?
Aku berlari setengah menangis menuju rumah Surya. Dan saat sampai disana, rumah itu masih sepi seperti biasanya. Aku bertanya pada tetangga sekitar rumah Surya, mereka bilang sudah beberapa hari ini Surya dan keluarganya pergi kerumah sakit. Ternyata matahariku benar-benar sakit. Untunglah mereka tahu dimana Surya di rawat. Matahariku… tunggu Rembulanmu ini.
Guys… Rembulan kini tidak tenang… mataharinya sakit dan Rembulan tak tahu harus bagaimana.
Guys… bila saja Rembulan sudah tahu semua ini sejak awal, mungkinkah akhirnya akan bahagia?
                Aku sampai disalah satu kamar rawat rumah sakit. Sebelumnya aku sudah bertemu dengan keluarga Surya dan menanyakan keadaannya. Surya ternyata mengidap kanker. Matahariku… kau selallu tampak sehat, mengapa tiba-tiba kau sakit parah? Aku diizinkan masuk dan menjenguk matahariku.
“Surya” panggilku.
“eh? Bulan” dia tersenyum manis. Bahkan disaat rambutnya sudah rontok dan kulitnya memucat. Matahariku… aku sedih melihatmu seperti ini.
“kamu jahat Surya” aku menangis dan memeluk Surya. Aku sudah tak bisa menahannya. Surya… kenapa semua jadi seperti di film. Dia mengusap ujung kepalaku, ku mohon Tuhan… jangan jadikan ini yang terakhir.
“maafin aku yaa Bulanku” dia menyeka airmata yang sudah terlanjur membasahi pipiku.
“kamu gaakan pergi kan?” tanyaku di sela-sela tangisanku. “kamu kuat Surya. Kamu pasti gak akan mati”
“aku akan terus hidup di hati kamu. Bulanku jangan menangisi aku. Kamu sudah jadi orang hebat sekarang. Bulanku, tetaplah tersenyum seperti saat pertama kali kita bertemu” Surya tersenyum.
                Aku menangis sejadi-jadinya…  tak bisa menerima kenyataan. Mengapa aku harus jatuh cinta pada matahari yang jahat sih?! Matahariku setelah kau menolakku sekarang kau juga mau pergi? Matahariku kau terlalu jahat.
Beberapa saat kemudian, Surya di bawa keruang operasi. Dia harus menjalani operasi tuk menyelamatkan nyawanya.
Guys… matahariku akan terus bersinar kan? Dia takkan pergi kan?

beberapa minggu kemudian...

“Lan pulang sekolah main yuk” Bintang mengajakku pergi seperti hari-hari sebelumnya.
"nggak ah… hari ini aku mau ketemu Surya” aku senyum.
“ya udah deh, titip salam buat dia ya” Bintang pergi.
                Aku tersenyum melihat kepergian Bintang. Hari ini Rembulan akan mengunjungi mataharinya. Dengan membawa bunga yang ku beli dijalan. Aku sudah menyiapkan hatiku tuk bertemu Surya. Matahariku Surya… aku sudah sampai di sebuah makam dengan batu nisan bertuliskan nama SURYA. Matahariku kini telah tenggelam, namun tetap bersinar di hatiku. Aku tersenyum dan berlutut di makam itu. Sambil menggenggam gantungan berbentuk coklat yang pernah Surya berikan.
“hai Surya, Bintang nitip salam buat kamu hari ini” aku tersenyum namun air mataku mengalir. Surya… aku senang bisa bertemu dengan kamu…
                Karna Surya hidupku berubah. Aku bisa melakukan banyak hal. Aku jadi salah satu siswi terkenal dan menonjol disekolah. Kalau bukan karna Surya, mungkin Bulanmu ini akan tetap redup. Aku bersyukur bertemu dengannya.
Guys… matahariku sudah tenggelam. Walau sudah tiada tapi ia meninggalkan banyak hal indah dalam hidupku. Ternyata Surya bukanlah matahari… dia adalah pelangi yang hadir memberikan keindahan sesaat. Meski begitu aku bersyukur bertemu dengannya.
Terimakasih tuhan… terimalah dia disisimu…
TAMAT

Created by : Camelia Athena Kharin (Rin-Chan)
tunggu cerita kedua tentang rembulan yaa